Begini Analisa Peta politik Jatim 24 Menurut Pakar Hukum UB Dr. Ngesti Dwi Prasetyo S.H., M.H

Menurut dosen hukum tata negara ini, tolak ukur utamanya adalah kinerja. Di masa mendatang, pemimpin bangsa harus dilihat dari kinerjanya, mulai dari kepala daerah sampai ke presiden.

Detikindo.Com,Malang Jawa Timur  – Pilgub Jatim tahun 2024 masih cukup lama. Meski begitu hiruk pikuk kontestasi politik di Jawa Timur (Jatim) mulai mencuat ke permukaan. Khususnya terkait dengan penentuan kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim.

Sejumlah nama kandidat sudah muncul, sebut saja misalnya Khofifah Indar Parawansa, Tri Rismaharini, Syaifullah Yusuf (Gus Ipul), Emil Elestianto Dardak, hingga Abdul Halim Iskandar (Gus Halim). Kemunculan nama kandidat ini tentu menjadi pertanyaan publik siapa yang nanti akan mencalonkan diri dan berkontestasi di pemilihan gubernur (pilgub) dan wakil gubernur (wagub) Jatim 2024.

Pakar hukum pemerintahan daerah Universitas Brawijaya (UB) Malang, Dr. Ngesti Dwi Prasetyo S.H., M.H., memandang bahwa nama-nama tersebut merupakan konfigurasi menarik. Nama kandidat yang muncul telah dikenal dan cukup populer di masyarakat Jatim.

“Saya kira mereka tahun ini memang modal utama bagi mereka untuk mencalonkan diri tinggal kemudian bahwa masyarakat dapat melihat sebenarnya berkaitan soal kinerja nah ini yang menjadi pembeda satu diantara dengan yang lain,” kata dosen Fakultas Hukum UB ini, saat ditemui pada Selasa (8/8/2023).

Ngesti Dwi kemudian menguraikan satu per satu terkait kinerja para kandidat. Menurutnya, Khofifah Indar Parawansa merupakan kandidat yang sudah hampir 5 tahun menjabat sebagai Gubernur Jatim. Artinya prestasi dan kinerjanya di provinsi sudah dapat dirasakan oleh publik.

“Kemudian, Gus Ipul, jika nanti maju maka akan terjadi persaingan lama dengan Khofifah. Salah satu yang menjadi pembeda Gus Ipul karena setelah jadi wakil Gubernur dan kalah dalam pertarungan pilgub yang lampau ternyata menjadi kepala daerah sebagai Wali Kota Pasuruan. Saya kira kinerjanya juga bisa di report dan dinilai masyarakat secara utuh,” lanjutnya.

Ketiga, Tri Rismaharini secara rekam jejak juga sudah mapan. Sejak dari Wali Kota Surabaya kemudian menjabat sebagai Kemensos. Itu dapat dipandang sebagai prestasi, termasuk ketika membangun Surabaya dan menjabat sebagai Menteri Sosial.

“Kandidat lain yang ditawarkan yang keempat, ada Gus Halim menjabat sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi pada Kabinet Indonesia Maju Jokowi-Ma’ruf Priode 2019-2024. Masyarakat juga bisa mengukur popularitas,” tuturnya

Menurut dosen hukum tata negara ini, tolak ukur utamanya adalah kinerja. Di masa mendatang, pemimpin bangsa harus dilihat dari kinerjanya, mulai dari kepala daerah sampai ke presiden.

“Saya kira bisa belajar dari Pak Jokowi dan semoga ini juga menjadi satu hal kebiasaan bahwa karir dan ukuran kinerja jadi tolak ukur,” jelas dosen pengampu mata kuliah hukum hukum pemerintahan daerah.

Termasuk, muncul nama Emil Elistanto Dardak nantinya bisa memposisikan diri sebagai wakil atau juga menjadi Jatim satu. Emil dinilai layak mengisi kedua posisi tersebut, hanya tinggal menunggu tiket karena Emil sudah mempunyai popularitas baik, saat menjadi bupati maupun menjabat sebagai wakil gubernur Jatim.

Dr. Ngesti juga mengusulkan nama baru yang layak dipertimbangkan maju dalam kontestasi pilgub Jatim 2024. Ada nama Eri Cahyadi (Wali Kota Surabaya), Ika Puspitasari (Wali Kota Mojokerto), Sutiaji (Wali Kota Malang), Dewanti Rumpoko (Wali Kota Batu), dan Abdullah Abu Bakar (Wali Kota Kediri).

“Prestasi beliau-beliau dan capaian kinerja baik secara teknokratik maupun developer bisa dibilang sudah berhasil. Saya kira, indikator kinerja pemerintah kota dan kabupaten ini menjadi tren positif dalam memilih pemimpin dengan masyarakat melihat kinerja maupun prestasinya,” ujar pakar UB ini.

Ngesti berpesan kepada para kandidat agar dalam programnya kelak mencantumkan perihal pemerataan pembangunan di Jawa Timur. Saat ini pembangunan di Jatim belum merata karena di sisi pantai selatan misalnya di daerah Blitar, Tulungagung, Trenggalek, dan Pacitan belum maksimal.

“Pemerataan pembangunan di sisi lain juga perlu di wilayah Tapal Kuda. Infrastruktur di sana masih sangat kurang. Kemudian persoalan stunting, kemiskinan ekstrim dan sebagainya itu menjadi pekerjaan rumah utama dalam konteks pemerataan pembangunan,” tuturnya.

Kemudian, pesan kedua terkait adanya undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Harus ada regulasi yang memperkuat posisi pendapatan asli daerah berupa stimulan kebijakan dari kandidat gubernur atau cawagub.

“Ini penting, mengingat bahwa ada banyak yang hilang dari sisi pendapatan tapi juga ada peluang dari sisi pendapatan yang lain. 5 tahun terakhir APBD kita tersedot dua kali, dua tahun lalu pandemi Covid-19, tahun ini dan tahun depan digunakan dalam penyelenggaraan pemilu,” nilainya.

Dalam kontestasi politik 2024, dia berharap agar saat calon ditetapkan akan terjadi adu program. Dia menilai, ada tiga faktor ketokohan yang penting diperhatikan dan berpotensi mempengaruhi kantong suara maupun menentukan peta politik Jatim, yaitu milenial, Nahdliyin, dan nasionalis.

“Soal peta politik dan kantong suara, saya kira Nahdliyin masih yang akan diperebutkan. Apalagi, nama-nama tokoh yang muncul ke publik mayoritas memang tokoh Nahdliyin,” jelasnya.

Menurut dosen lulusan UB ini, segmen milenial juga sangat berpengaruh. Terutama terkait isu milenial yang bergantung pada segmen umur, atau bisa juga terkait track record kandidat yang pernah berhubungan dengan segmen milenial.

“Bentuk ketokohan ketiga sosok nasionalisme juga perlu. Ini saya kira menjadi salah satu daya tarik dan memang memiliki kantong suara di Jatim. Saya kira tiga hal itu menjadi kunci untuk bisa menarik dan memperebutkan suara dalam Pilgub 2024 mendatang,” tegasnya.

Ia memprediksi akan ada 3 pasang calon yang maju berkontestasi dalam pilgub 2024. Tidak disebut secara detail nama calon tersebut yang pasti tidak jauh dengan nama-nama lama dan sangat mungkin ada nama baru.

Tahun 2024 diprediksi akan jauh berbeda dengan kontestasi politik 2019 lalu. Saat ini nama kandidat yang muncul sedang melihat dan memetakan potensi yang ada. Konfigurasi tingkat daerah ini, sangat berpengaruh terhadap pilpres dan sebagainya.

“Tidak bisa lagi tuh slow, beda dengan dulu, karena akan ada pemilihan serentak. Pemilu 2024 akan ada perbedaan signifikan dengan tahun 2019, dengan sistem yang baru ini justru para kandidat akan mencermati dengan sistem yang baru terutama perilaku masyarakat yang bakal mengalami kebingungan,” katanya mengakhiri penyampaian.

Tinggalkan Balasan